Lambang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Bendera Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Foto salah satu ruas jalan di Yogyakarta (tahun 1933)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur,
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini
juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan
sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/
Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda
(Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan
Koti/Kooti.
Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan
untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian
juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia
Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Daftar isi
- 1 Periode I: 1945—1946
- 1.1 Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
- 1.2 Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
- 1.3 Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
- 1.4 Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
- 1.5 Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
- 1.6 Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
- 2 Periode II:1946 - 1950
- 2.1 Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
- 2.2 Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
- 2.3 Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
- 2.4 UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
- 3 Periode III: 1950 - 1965
- 3.1 Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
- 3.1.1 Pembentukan DIY (1950)
- 3.1.2 Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
- 3.2 Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)
- 3.2.1 Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
- 3.2.2 Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)
- 3.3 Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
- 3.3.1 Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
- 3.3.2 Penyatuan Wilayah (1957-1958)
- 3.3.3 Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
- 4 Periode IV: 1965-1998
- 4.1 Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
- 4.2 Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
- 4.3 Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
|
Periode I: 1945—1946
Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta
atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima
kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang
Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan
Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945
Yogyakarta Kooti Hookookai
mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur
pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap
langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh
dan abadi.
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan
Kooti. Sebenarnya kedudukan
Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari
Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya
Kooti
dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara
rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak
oleh Soekarno
karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan
sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah
diserahkan Jepang kepada
Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal
Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada
beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan
Kooti ditetapkan
status quo
sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi
kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan
.
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan
Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya
juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit
monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan
Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi,
Raja Kerajaan Luwu
akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan
Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
- Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya
wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing
kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.
Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi
Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang
punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945
dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus
Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan
memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama
lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan
sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan
bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya
ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua
Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah
Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu,
berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang
saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (
Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat,
Paniradya
(Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan
Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan
benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya
persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946
dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi
yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang
untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui
Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur
tata pemerintahan di tingkat
kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID
juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok
Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai
karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta
menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki,
yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang
terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut
adalah:
- Kedudukan Yogyakarta
- Kekuasaan Pemerintahan
- Kedudukan kedua raja
- Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
- Pemilihan Parlemen
- Keuangan
- Dewan Pertimbangan
- Perubahan
- Aturan Peralihan
- Aturan Tambahan
Periode II:1946 - 1950
Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat
Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA
VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 ). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946.
Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan
digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat.
Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18
yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta
tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta
digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman
dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada
sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan
Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah
(satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki
yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu
tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat
dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak
ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan,
dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD
(Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai
dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif
dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala
Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan
Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah
collegial bestuur atau
direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang
melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk
persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan
Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada
DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD,
melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 ).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di
Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan
Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan.
Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing
tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum
diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan
Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946
Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta
dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah
Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota
Haminte-Kota
Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan
Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang
turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah
dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah.
Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik
dalam diktum maupun penjelasannya
. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948
yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi
lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai
Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949,
Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer
Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Periode III: 1950 - 1965
Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB,
Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia
yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950
(BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar
kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota,
jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya
adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950
yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan
Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur
dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan
secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B
U K A N sebuah Propinsi.
Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi
hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan
wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY
bukan pula sebuah monarki konstitusional.
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates),
dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951,
kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon
Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu
kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951
(LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan
Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an)
Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
Pada tahun 1951
Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia.
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah
Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak
secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih
partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP.
Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan
Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan
dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa,
selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja
(Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung
jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)
Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan
Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota.
Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi
DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY
sebenarnya merupakan pengembangan dari
Kanayakan yang memerintah
Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh
Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara,
yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil,
menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya
cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga
wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai
Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di
Cepuri
Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji
cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah
resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada
kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran
tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K
A N merupakan monarki konstitusi.
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX.
Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak
dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan
dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut
Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi. Proses pemisahan antara negara (
Nagari Dalem) dan istana (
Karaton Dalem)
tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik
dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal.
Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan
Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan
Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum
maupun penjelasannya.
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang
pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan
sebelumnya (UU 22/1948).
Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang
melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai
'metamorfosis'
abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi
tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang
memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang
menghendaki hapusnya pamong praja.
Penyatuan Wilayah (1957-1958)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24
September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran)
dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian
dimasukkan
ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten
yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan
enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda.
Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional,
praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV: 1965-1998
Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi
(sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode
III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik
secara
de facto maupun
de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari .
Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah
selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia.
Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu
pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan
tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No.
5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di
sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah
Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan
Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi
Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun
1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode
1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan
istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai
dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini
tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.
Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika
Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai
Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (
former president) Presiden Soeharto,
Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah
maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk
mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI
(TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk
menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa
bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan
masyarakat dalam acara yang disebut
Pisowanan Agung.
Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada
tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil
Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama
(1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).